Dalam Kediaman Adara

        Kala itu, langit tengah memaparkan keindahannya. Dinikmati khalayak banyak yang senang bersenandung seperti Adara. Ya, adara, sapaannya. Gadis riang penyimpan sejuta cerita. Katanya, nama ia diambil dari nama bintang yang paling cerah kedua. Saat kutanya, "Kenapa gak diambil dari nama bintang pertama?" Tanyaku. "Kata ibuku, menjadi yang pertama selalu dihadapi dengan banyak masalah. Jika kita mencoba lebih mengalah untuk menjadi yang kedua, dunia akan indah," jawabnya. Seperti sebuah filosofi, entahlah. Biarkan hanya mereka saja yang menutup rapat apa sebenarnya makna kalimat tersebut.
Melanjutkan bercerita mengenai adara, ia senang menulis; sesekali membaca. Tampak lihai saat pena nya tergores dan mataku ditelanjangi saat membaca tulisannya. Katanya, "Pena adalah teman setia ketika ia ingin bercerita." karena ia bukan orang yang terbuka, ketika harus bercerita tentang masalah hidupnya. Ia lebih senang mengaplikasikannya lewat sentuhan tangan indahnya melalui tulisan. Siapa yang menyangka, gadis periang seperti adara ternyata penyendiri? Saat berada dikeramaian dan mencoba berdialog dengan insan lainnya, tetap saja dirinya merasa sendiri. Bukan karena diasingkan, meski ia sudah biasa dengan fase teesebut. Tapi ini tentang dirinya yang merasa perlu punya waktu untuk sendiri dalam keramaian. Sementara itu, ada cerita menarik dibalik ketidaksukaannya teehadap keramaian; “Fobia." Siapa yang menyangka? Jiwa menyendirinya, ternyata berkaitan dengan Fobia. Saat kutanya, "Fobia apa?" dia enggan bercerita. Tapi saat kuraih buku perjalanannya (ia menyebutnya), aku mengerti. Itulah sebabnya aku bercerita tentangnya. Saat kuminta menjadi tokoh utama dalam ceritaku, ia bersedia. "Dengan senang hati," katanya. Karena dia tak sulit berbagi, hanya sulit bercerita saja. Bahkan dia pendengar yang baik, tidak pernah sekalipun orang menyesal telah menjadikannya teman cerita. Atas dasar itu, aku mencoba memberanikan diri untuk memperkenalkanya dengan organisasiku. Harapku saat itu, ia bisa menemukan wadahnya untuk berkembang sembari menetralisasi fobia keramaian yang meluluk ia sembunyikan itu.

"Organisasiku lagi cari anggota baru nih, pekan depan masa jabatanku selesai," Kataku, memulai percakapan.

"Oohh" jawabnya, cuek. (Wajar saja ia tengah menikmati buku bacaanya kala itu.)

"Mau gabung gak ra?"

"Enggak"

"Hm, padahal kalau kamu gabung. Ini bisa menjadi wadahmu berkembang. Atau mungkin bisa menjawab atas fobiamu selama ini" tanyaku lancang.
Pandangannya teralihkan, bukunya ia letakkan. Diliriknya aku yang tengah menikmati angina. Mata nya seperti orang yang ingin marah tapi tertahan.

"Siapa yang bisa memastikan itu?" tanyanya dengan lirikan tajam.

"Ha?" *aku tercengang kebingungan.

"Kau bilang jika aku bergabung bisa menjadi wadahku berkembang, bahkan bisa menjadi solusi fobiaku. Masa kau lupakan begitu saja perkataanmu itu?"

"Ah kau ini ra, mengagetkanku saja. Aku sudah bersiap untuk kau terkam padahal," "begini, jika kau memintaku memastikan hal itu benar maka bergabung kau saat ini juga. Aku sebagai sahabat terbaikmu yang akan memastikan hal itu," sambungku.

Entah hidayah apa yang kudapat saat itu sampai si keras kepala itu berlutut dengan ucapanku.

        Singkat cerita, adara mulai aktif dalam setiap pergerakan. Baik menyuarakan keadilan atau sekedar menyampaikan argumen. Itu yang cukup berkembang pesat darinya.

        Suatu masa ia dipertemukan dengan sosok lelaki hebat. Ia menyebutnya; wais. Teman seperjuangan dalam organisasinya, saat kubaca di tulisannya. Ia mendefinisikan pertemuan mereka dengan kata "Bahagia" karena lelaki itu periang seperti dirinya, meski ia tak seperti adara yang sulit bercerita. Saat itu wais tengah memperjuangkan pendidikanya dengan bekerja. Saat adara sudah memasuki bangku kuliah, wais harus menunda waktu kuliahnya untuk mencari dana pendidikan lebih dahulu. Ia memang mandiri, karena telah ditinggalkan oleh sosok pemimpin keluarga saat masih kecil. Saat dimana ia belum bisa melihat dengan jelas seperti apa ayahnya, bahkan sekedar pelukan hangat pun belum ia dapatkan. Wais senang bercerita, atau lengkapnya. Ia senang didengarkan. Saat ia memutuskan bercerita dengan adara, ia menemukan sesuatu yang tak biasanya ia dapat. Sudah kukatakan, adara adalah pendengar yang baik. Tidak pernah sekalipun ia memaksa pencerita untuk patuh dengan solusi darinya. Ia membebaskan, mendengarkan lalu memberi solusi dan mengembalikan keputusan pada sang pencerita. Karena menurutnya, solusi terbaik itu adalah diri kita. Mulai saat itu wais dan adara semakin dekat, ketika wais butuh teman untuk mendengarkan ceritanya adara selalu hadir dan siap untuk mendengarkan. Sebaliknya saat adara punya celah kesedihan wais berusaha mengajak adara untuk bercerita. Mungkin lewat cerita tersebut adara mulai membuka diri, mencoba tenang di dalam keramaian. Meski kutahu, ia tak nyaman tapi mencoba menyamankan dirinya.

Saat kulihat ia mulai lihai berdiskusi, meski hanya sekali atau dua kali berargumen.
Adara, temukan titik kenyamananmu. Jangan biarkan sesuatu yang hadir merusak aktivitas kehidupanmu. Cukup disini ceritaku tentang sosokmu, besok - besok kita bercerita lagi. Ya.

Komentar

Postingan Populer